Di dunia personal finance dikenal apa yang disebut 70/30 rule, yaitu bila Anda mampu mengkonsumsi hanya 70 % dari pendapatan Anda dan sisanya 30 % ditabung – maka Anda akan memiliki hari tua yang baik. Orang-orang di negara maju pada umumnya lebih bisa mengimplementasikan rule ini karena pendapatannya memang cukup, di negara-negara yang sedang berkembang seperti kita – rule ini masih sulit diterapkan oleh setidaknya dua sebab.
Penyebab pertama adalah pseudo-wealth euphoria atau eforia kemakmuran semu, ini terjadi di seluruh tingkatan ekonomi masyarakat. Seorang pekerja rumah tangga yang baru datang dari kampung dan mulai bekerja di Jakarta, begitu merasa mendapatkan penghasilan cukup – yang dibeli pertama adalah handphone. Sepertiga penghasilannya untuk mencicil handphone dan sepertiga lagi dihabiskan untuk membeli pulsanya, maka sulit sekali terangkat kemakmurannya.
Fenomena yang tidak jauh berbeda adalah di kelompok menengahnya. Begitu mereka mendapatkan pekerjaan yang baik dan dengan pendapatan yang baik pula, mereka berlomba membeli mobil dengan nilai maksimal yang mereka bisa beli. Sampai-sampai perbankan dan lembaga pembiayaan-pun membuat aturan dalam kreditnya, yaitu nilai cicilan maksimal 1/3 dari gaji karyawan yang membeli mobil secara cicilan tersebut.
Mobil dan handphone sesungguhnya bukan hanya mengkonsumsi 1/3 pendapatan. Biaya untuk pemeliharaan, bahan bakar, asuransi dan perilaku konsumtif yang terbawa setelah orang membeli mobil untuk kelas menengah atau handphone untuk kelas bawah – meskipun kelihatannya membuat pemiliknya menjadi makmur, sesungguhnya justru memiskinkan – inilah yang disebut kemakmuran semu itu.
Penyebab kedua adalah inflasi. Kalau toh 70/30 rule tersebut Anda terapkan dan Anda berhasil menyisihkan untuk ditabung 30% dari pendapatan Anda, dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi dlsb. Tidak ada jaminan bahwa hari tua Anda akan makmur. Mengapa ?, karena tabungan Anda akan beradu cepat pertumbuhannya dengan angka inflasi.
Penyebab kedua ini berlaku di negara berkembang seperti kita maupun di negara-negara maju sekalipun, walhasil statistik di negara maju tidak jauh berbeda dengan statistik di negara berkembang bahwa kurang lebih 9 dari 10 pegawai tidak siap untuk pensiun pada waktunya.
Lantas apa solusi terbaik bagi kita ?, solusi terbaik itu datang dari contoh terbaik – uswatun hasanah, yang juga pernah saya tulis di situs ini empat tahun lalu. Kali ini saya akan perjelas dengan contoh aplikasinya.
Contoh ini saya ambilkan dari kitab Riyadus Shalihin-nya Imam Nawawi, yang mebahas sebuah hadits panjang berikut :
Dari Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- (yaitu nama yang dia dengar di awan tadi)”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untuk bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku memakan daripadanya sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal penanamannya)”. (HR. Muslim).
Maka dengan hadits tersebut di atas ternyata 1/3 rule atau saya sebut prinsip 1/3 -lah yang lebih cocok untuk kita, bukan 70/30 rule. Bila kita mampu menerapkan prinsip 1/3 ini – yaitu 1/3 pendapatan kita konsumsi, 1/3 pendapatan untuk bersedeqah dan 1/3-nya lagi untuk investasi – maka insyaallah akan turun ‘hujan khusus’ untuk kita-kita.
1/3 yang kita investasikan akan memakmurkan kita dan orang lain di dunia ini, dan kombinasi dari 1/3 yang menciptakan lapangan kerja ini dengan 1/3 yang disedeqahkan insyaallah akan membawa keberkahan untuk bekal akhirat kita.
Teorikah ini ?, mungkinkah kita terapkan ?. Setiap kali saya membahas prinsip 1/3 ini, pertanyaan yang selalu muncul adalah – “bagaimana pak kita bisa hidup hanya dengan 1/3 ?, lha wong dengan 100%nya saja tidak cukup ?”.
Inilah yang memang harus dibudayakan, yang mengaku tidak cukup tersebut dia sesungguhnya mampu menggunakan uangnya untuk membeli handphone dan pulsanya. Mampu mengkridit motor dan membiayai operasinya, mampu mengkredit mobil beserta perawatan dan biaya operasinya dst.dst.
Maka bila prioritas itu diubah, pos biaya yang konsumtif yang tidak perlu-perlu benar dipindahkan sebagian untuk sedekah dan sebagian untuk investasi produktif –insyaAllah prinsip 1/3 tersebut bisa dijalankan oleh siapapun yang mampu membeli handphone, mengkredit motor atau mobil.
Hari-hari ini saya sedang berbicara intensif dengan rekan-rekan di perbankan. Bagaimana kalau mereka secara bertahap mengurangi kredit konsumsinya dan menggantinya dengan pembiayaan usaha yang produktif. Program seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang berbiaya rendah dan jaminan juga rendah – bisa diperluas targetnya.
Bila selama ini KUR diarahkan untuk para pemilik usaha yang sudah jalan dengan SIUP, TDP dlsb, bagaimana kalau pembiayaan KUR ini berlaku juga untuk menggiring para pegawai yang ancang-ancang untuk pindah kwadran ?. Mereka belum punya usaha sendiri, jadi jelas belum punya SIUP, TDP dlsb. Tetapi mereka selama ini mampu membayar cicilan mobilnya yang berharga ratusan juta, mengapa tidak dengan cicilan untuk investasi produktif ?.
Pihak bank akan lebih aman karena selama pegawai tersebut masih bekerja – jaminan pembayaran itu datang dari penghasilannya. Begitu usahanya jalan, si pegawai benar-benar melompat ke kwadran entrepreneur – jaminan pengembalian itu datang dari hasil usahanya.
Lha siapa yang menjalankan usaha si pegawai selama mereka belum terjun sendiri ?, pihak bank bisa memilih dan mengawasi pihak-pihak professional sebagai mitranya untuk mengelola usaha si pegawai yang calon pengusaha itu.
Untuk industri pertanian/perkebunan misalnya, program KKP kita – Kepemilikan Kebun Produktif bisa menjadi arena pembelajaran yang menarik untuk semua pihak. Si pegawai calon pengusaha bisa belajar berkebun yang baik – sambil tetap bekerja sampai dia merasa comfortable untuk terjun dan mengelolanya sendiri. Karena disamping penghasilannya dari bekerja, dia berpotensi mendapatkan penghasilan pula dari usahanya, maka dia insyaallah bisa lebih berkesempatan untuk bersedeqah yang 1/3 tersebut di atas. Untuk sementara waktu (5 tahun pertama) dari usaha berkebunnya dapat diserahkan ke kami untuk kami kelola bersama-sama dengan kebun lainnya.
Pihak bank bisa menyalurkan kredit produktif dengan aman – karena dikelola secara professional sejak kredit produktif tersebut keluar, aman pula pengembaliannya karena dijamin oleh penghasilan si pegawai awalnya dan baru setelah jelas hasilnya – dibayar dari hasil usaha yang di danai investasinya tersebut.
Bila skema ini berjalan secara massal, maka akan ada perubahan paradigma di masyarakat, yaitu yang selama ini rame-rame kredit motor, kredit mobil – akan berubah menjadi investasi produktif yang menciptakan lapangan kerja dan memakmurkan para pelakunya dunia akhirat – karena diterapkannya prinsip 1/3 dari hadits tersebut di atas. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar