Rabu, 03 Oktober 2012

Membeli Masa Depan Dengan Harga Hari Ini?

Kalimat ini sering terdengar sekarang. Bersliweran. Saya suka kalimat ini karena singkat, mengena dan menceritakan banyak hal. Sejujurnya saya tak tahu siapa yang mempopulerkan. Bagaimana memahaminya dengan mudah? Begini : harga-harga secara ‘alamiah’ naik dari waktu ke waktu. Penyebabnya tentu inflasi. Di masa datang, kita harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang yang sama saat ini, bahkan dengan uang yang rencananya kita tabung dan (kita harapkan) berkembang.
Sulit membayangkan apa yang terjadi dengan daya beli harta kita 15 dan 20 tahun mendatang. Kita menyimpan dan menyelamatkan harta dengan cara terlalu biasa untuk bisa mengejar kenaikan harga di masa datang.
Seberapa mengerti kita akan hitungan kenaikan biaya hidup per bulan ketika memasuki masa pensiun nanti? Bahkan, seberapa peduli? Para karyawan menyisihkan 3% s.d 15% dari gajinya per bulan untuk persiapan memasuki masa purna bhakti tanpa bisa membayangkan apakah dana pensiunnya mampu menopang hidupnya per bulan nanti. Harga-harga ketika itu melambung tinggi, sementara badan makin renta dan tak seproduktif saat muda. Beranikah kita membayangkan bahwa biaya hidup Rp 2 juta per orang saat ini dalam sebulan, dalam 20 tahun lagi menjadi +/- sekitar Rp 13 juta per bulan? Itu biaya hidup satu orang dalam keluarga.
Penyedia pengelolaan dana pensiun datang menjelaskan dengan angka-angka besar sebagai janji return. Kita terperangah karena saking besarnya, tanpa mau mengkaji bahwa angka tersebut menjadi begitu tak berarti nanti. Sebagaimana, yang sering saya contohkan dalam seminar, 10 tahun lalu kita menilai besar angka Rp 250 utk satu permen ketika dulu harga sebutir permen adalah Rp 25. Sekarang, kita sudah biasa keluarkan Rp 1.000 dan mendapatkan 4 butir. Artinya harga permen naik 10 kali lipat dalam 10 tahun. Ini mungkin bukan masalah asal pendapatan kita, misalkan gaji, ‘disesuaikan’ tiap tahun. Tapi jadi masalah untuk tabungan kita, yang sudah kita serahkan ke lembaga keuangan dan dijanjikan berkembang, padahal memberikan hasil yang memiskinkan.
Dua belas tahun lalu seorang karyawan dipotong gaji Rp 250.000 untuk dikelola dana pensiun. Saat ini angka simpanannya menjadi Rp 57.000.000 atau ‘berkembang’ sebesar 4,9% setiap tahunnya. Lihat angka inflasi rata-rata 5-10% per tahun, sebetulnya dana itu jelas ‘tak mampu membeli’ kebutuhan masa depan si karyawan. Tabungan dana pensiun tak mampu memproteksi simpanannya karena tumbuh lebih kecil daripada naiknya harga-harga. Itu belum ditambah 20 tahun lagi kedepan ketika karyawan benar-benar pensiun.
Membeli masa depan dengan harga sekarang adalah menabung dengan angka hitung/ nominal saat ini dan membiarkan tabungan itu ‘bekerja’ untuk membeli kebutuhan kita di masa datang. Kita menabung untuk pendidikan anak masuk kuliah 10 tahun lagi, ketika dibutuhkan nanti, tabungan kita cukup ‘membelinya’, bahkan lebih.
Membeli masa depan dengan harga saat ini adalah menabung 10 Dinar emas (42,5 emas batangan) setahun lalu untuk berangkat umroh tahun ini, dan mendapati bahwa biaya umroh ternyata cukup dibayar dengan 8 Dinar emas saja.
Membeli masa depan dengan harga sekarang adalah menabung emas mulai 12 tahun lalu dengan angka tetap Rp 250.000 per bulan untuk persiapan dana pensiun dan mendapati nilai simpanan mencapai Rp 80,4 juta saat ini. Atau naik 124% dalam 12 tahun atau sama dengan naik 10,3% per tahun.
Membeli masa depan dengan harga sekarang adalah menabung di harta hakiki, yaitu emas dan perak, yang kenaikannya menumbangkan kenaikan harga-harga yang lain. Hingga ketika diperlukan nanti, tabungan hakiki itu akan selalu mencukupi. Insya Allah.

1 komentar:

  1. wah thanks banget nih artikelnya sangat membantu buat referensi saya..
    Nah ini saya pengin sharing artikel yang membantu mengubah hidup saya juga, silahkan di baca dan resapi :
    Menabung di peer to peer lending

    BalasHapus